Sabtu, 16 Juli 2011

Menolong Orang Terluka Tanpa Patirasa

Pada tahun 1982 -- 1983 yang silam aku punya pengalaman unik, yakni menolong seorang yang terluka kakinya akibat tertelusup pangkal kayu pohon Jagung pada telapak kakinya. Ia sehari- harinya bekerja menjajakan Bakso didesanya. Namanya, Pak Djaelani (bukan nama sebenarnya), berusia sekira 35 tahun. Tinggal didesa Banyuputih Lor, kecamatan Jatiroto - Kabupaten Lumajang.

Pada suatu sore, sekira pukul 14.30 salah seorang keluarganya yang memang sudah kukenal itu datang meminta bantuanku untuk merawat Pak Djaelani. Memang pada tahun- tahun itu aku pernah bekerja disatu Instalasi kesehatan yang khusus menangani luka- luka.

Setelah aku sampai dirumah Pak Djaelani, aku langsung melihat lukanya. Aduh.. keluhku dalam hati. Ternyata kakinya bengkak sekali. Pantesan Pak Djaelani mengerang terus.

" Ia kesakitan selama dua hari ini pak ", kata salah seorang keluarganya memberi keterangan kepadaku.

" Oh ya?! ", jawabku, lalu aku bertanya kepada Pak Djaelani.

" Tadinya kena apa ini pak? ", sembari membuka balut kain kumal dilukanya.

" Kena sunggrak kayu pak ", jawabnya singkat sambil wajahnya menyeringai menahan sakit.

Kubuka semua kain pembungkus lukanya, dan tampak ada benda hitam yang ternyata kayu yang menelusup kedalam daging masih tinggal didalam luka.

Kemudian kujelaskan kepada orang- orang, sanak familinya yang kebetulan ramai berdatangan kerumah Pak Djaelani. Mereka memang begitu adatnya. Kalau ada satu yang sakit maka hampir semua famili dan tetangga didesa yang sebagian besar masyarakatnya bersuku Madura tersebut, berdatangan berkunjung bergiliran.

Kukatakan bahwa luka Pak Djaelani ini harus dibongkar untuk mengambil kayu yang menelusup. Semua orang terdiam memandangiku. Tapi keluarga Pak Djaelani menyetujui rencanaku untuk membongkar luka infeksi dikaki itu.

Tapi, apa lacur.. ketika aku merogoh- rogoh tas perlengkapan alatku, tak kutemukan obat Patirasanya. Wah.., kataku dalam hati. Celaka inih!. Aku memutar otak. Berpikir keras, bagaimana jalan keluarnya.

Sementara itu Pak Djaelani mengerang terus. Agaknya ia merasa takut tambah sakit kalau lukanya nanti ditolong. Diam- diam kuperhatikan lukanya yang meradang bengkak dan memerah itu tidak mungkin untuk diberi obat patirasa lokal.

Tiba- tiba aku punya ide. Bagaimana kalau Pak Djaelani ini di hypnotis saja untuk mengendalikan nyeri lukanya? Sementara aku bisa merawat lukanya dengan tenang!.

..... Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda?