Rabu, 29 Juni 2011

Relevansi Politik Pencitraan

Panggung Politik dinegeri ini seakan sedang berlomba untuk berebut posisi yang baik dimata rakyat yang makin melek politik. Tentu saja yang dimaksud pada tulisan ini adalah yang dilakukan oleh orang- orang yang berkecimpung didunia politik. Kalau pada beberapa tahun lalu dimana rakyat belum begitu tahu dan atau memang tak mau tahu tentang politik, mungkin bisa saja mengelabuhi mata dan hati rakyat dengan gaya pencitraan diri ketokohan dalam kontes kepemimpinan.

Tapi sekarang rakyat tidak butuh samasekali dengan politik pencitraan yang ditonjol- tonjolkan. Perkara citra itu sendiri, akan muncul dengan sendirinya, bergantung dari sepak terjang yang dilakukan. Apabila bagus perjuangannya maka secara paralel citra itu akan ikut dan melekat pada diri tokoh tersebut. Sebaliknya apabila perjuangannya hanya retorika yang sulit sekali dilihat hasilnya pada tataran operasional maka walaupun seribu kali upaya pencitraan dilakukan, ya tetap saja citra diri tidak akan baik, malahan merosot tajam menjadi citra buruk yang diperoleh.

Rakyat sekarang butuh kepemimpinan operasional, butuh pemimpin situasional yang memiliki rencana strategis fleksibel dan benar- benar sesuai dengan realita kenyataannya dilapangan. Memang perencanaan musti dibuat dibelakang meja, ketika hasil survey usai dilakukan. Namun untuk dapat menggerakkan apa yang direncanakan tentu harus memiliki perencanaan strategis yang bernapaskan realita, sehingga dapat menerobos keadaan dengan implementasi perencanaan yang telah dibuat secara tepat dan cepat, bak Jarum Kompas yang selalu peka terhadap situasi yang terjadi. Tindakan segera dilakukan sesuai kebutuhan untuk mengatasi permasalahan dengan tahapan yang tuntas.

Jikalau jarum kompas yang dijadikan alat kontrol hanya berputar- putar terus tanpa bisa menunjukkan situasi yang terjadi, maka boleh dikatakan jarum kontrol tersebut sudah rusak dan perlu diganti dengan yang baru. Bagaimana bisa bekerja kalau tidak paham terhadap situasi yang berkembang dan terus bergerak. Hal ini bisa terjadi karena pemimpin hanya duduk dibelakang meja, tak pernah turun lapangan. Hanya pasif terima laporan yang dibisikkan dengan cara klasik, asal bapak suka. Pembisik- pembisik yang hanya carmuk (cari muka) justru akan merusak apa yang dinamakan 'citra' tadi.

Sekarang, apabila kita menganut cara pikir bahwa tidak ada istilah terlambat, maka cepatlah berubah. Segeralah mengubah mindset menjadi figur pemimpin yang melayani. Bukankah apa yang disebut kepala harus melayani anggota tubuh? Jadi barang siapa yang ingin menjadi pemimpin harus bersedia dengan sungguh- sungguh mau melayani kepentingan yang dipimpin, yakni para anggota, ya publik- rakyat ini, semuanya.