Rabu, 27 Juli 2011

Kakak Beradik Poniman dan Ponimin

Setiap hari kedua bersaudara ini, layaknya dua orang sahabat. Kemana pergi selalu bersama. Kali ini mereka sedang duduk- duduk diteras rumah sambil minum kopi. Hawa diluar rumah terasa sejuk. Matahari mulai condong kebarat. Pada sore hari ini mereka tampak santai.

Poniman duduk bersila diatas tikar bututnya. Menghadap halaman depan yang penuh dengan Bunga- bunga lokal. Sebagai saudara tua umurnya dua tahun lebih tua dari Ponimin, adiknya yang berpenampilan bak seorang seniman. Karena rambutnya yang panjang tergerai dibahunya, yang kini duduk dibibir teras disebelahnya. Mereka duduk bersila berhadap- hadapan.

Keduanya asyik membicarakan masalah situasi yang makin menghangat saja, yaitu tentang apalagi kalau tidak masalah gegernya para elit politik dinegeri ini. Dialog pembicaraan mereka antara lain sebagai berikut.

Poniman : Min menurut kamu sekarang bagaimana!
Ponimin : Apanya yang bagaimana Man!
Poniman : Oh ya.. itu lho, tentang rencana Pelaksanaan Pemilu 2014. Apa bisa fair ya?
Ponimin : Ach, masih lama Man pemilunya.
Poniman : Lhoh .. kamu nih gimana! Partai Baru dah bermunculan. Siap- siap ikut pemilu.
Ponimin : Biar aja. Kita kan bukan anggota partai manapun juga. Kita cuma orang desa, tani.
Poniman : Iya juga sih! Tapikan kita juga harus mikir- mikir kemana nanti aspirasi kita berikan.
Ponimin : Tuk apa dipikirin. Lha wong semua partai sama saja. Semua kisruh sama sendirinya.
Poniman : Tapi kan ada partai baru nih, seperti Nasdem, Nasreb, dan lain- lainnya.
Ponimin : Tak urus, walau ada partai Nazir! Apa tuh Nazaruddin.. ya ya, yang lari keluar negeri.
Poniman : Iya knapa dengan dia! Nasar- nasar ngga keruan ya. Itukan membela diri dia!
Ponimin : Membela diri apaan! Kalau memang dia benar, knapa datanya tak dikirim ke KPK aja.
Poniman : Ya.. akhirnya kan nanti dikirim kesana juga. Biar masyarakat tahu dan rame dulu.
Ponimin : Ya ngga bisa begitulah. Kan nanti bisa dikatakan fitnah.

Demikianlah antara lain, debat dua saudara kandung yang sama- sama suka dan pedulinya mengikuti perkembangan situasi politik di negeri Ratna Mutu Manikam ini. Untuk cerita lebih lanjut tentang apa saja yang diperbincangkan, akan dimuat lagi diwaktu yang akan datang. Ya, di Blog Celoteh- celoteh ini.

Minggu, 24 Juli 2011

Jiwa Wira Usaha Tetanggaku Patut Ditiru

Ditengah- tengah kemelut ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang ini, seorang tetanggaku berhasil mengatasi kesulitan kehidupan ekonominya. Kiat yang dilakukannya dengan cara bercocok tanam buah Lombok didalam Pot. Ketika harga lombok meroket baru- baru ini, ia memperoleh keuntungan yang lumayan. Selain memperoleh dana untuk biaya hidup sehari- hari dan biaya sekolah anak- anaknya, tetanggaku yang bernama pak Somad (bukan nama sebenarnya) juga dapat membeli perlengkapan tambahan untuk bertani lombok.

Menurut pak Somad diriya padahal tidak memiliki ladang sepetakpun. Ia terinspirasi oleh sebuah Majalah yang kebetulan dibacanya saat sedang mengantri giliran cukur rambut. Ditempat Tukang Cukur rambut langganannya memang suka menyediakan bacaan- bacaan agar lagganannya tidak jenuh menunggu giliran cukur rambut.


Pak Somad menyemaikan bibit lomboknya disuatu media tanah yang lembab. Ketika sudah dirasa cukup usia, kecambah pohon lombok dipindahkan kedalam Polibag yang cukup leluasa untuk pertumbuhan pohon lomboknya.

Pot- pot yang telah berisi tanaman lombok ini ditaruh dihalaman rumahnya. Bisa disamping rumah, dibelakang rumah dan pokoknya ada lahan kosong dihalaman rumahnya itu, ia isikan tanaman pohon lombok ini, katanya. Setiap pagi dan sore dikontrolnya. Disiram dan diberi sedikit pupuk kandang.

Ketika ratusan pohon lombok berbunga dan berbuah, tampak indah seperti pohon bunga hias, pak Somad melanjutkan ceritanya kepadaku. Kemudian lombok dipanennya. Hati pak Somad gembira sekali, karena produk hasilnya tak kalah lebatnya seperti menanam diladang. Kualitas buah lombok juga baik dan segar.

Nah maka ia tak ragu- ragu untuk memanggil seorang pedagang lombok untuk melihat dan menawar tanaman lomboknya. Transaksi terjadi. Pak Somad langsung kini, banyak uangnya.

Sabtu, 16 Juli 2011

Menolong Orang Terluka Tanpa Patirasa

Pada tahun 1982 -- 1983 yang silam aku punya pengalaman unik, yakni menolong seorang yang terluka kakinya akibat tertelusup pangkal kayu pohon Jagung pada telapak kakinya. Ia sehari- harinya bekerja menjajakan Bakso didesanya. Namanya, Pak Djaelani (bukan nama sebenarnya), berusia sekira 35 tahun. Tinggal didesa Banyuputih Lor, kecamatan Jatiroto - Kabupaten Lumajang.

Pada suatu sore, sekira pukul 14.30 salah seorang keluarganya yang memang sudah kukenal itu datang meminta bantuanku untuk merawat Pak Djaelani. Memang pada tahun- tahun itu aku pernah bekerja disatu Instalasi kesehatan yang khusus menangani luka- luka.

Setelah aku sampai dirumah Pak Djaelani, aku langsung melihat lukanya. Aduh.. keluhku dalam hati. Ternyata kakinya bengkak sekali. Pantesan Pak Djaelani mengerang terus.

" Ia kesakitan selama dua hari ini pak ", kata salah seorang keluarganya memberi keterangan kepadaku.

" Oh ya?! ", jawabku, lalu aku bertanya kepada Pak Djaelani.

" Tadinya kena apa ini pak? ", sembari membuka balut kain kumal dilukanya.

" Kena sunggrak kayu pak ", jawabnya singkat sambil wajahnya menyeringai menahan sakit.

Kubuka semua kain pembungkus lukanya, dan tampak ada benda hitam yang ternyata kayu yang menelusup kedalam daging masih tinggal didalam luka.

Kemudian kujelaskan kepada orang- orang, sanak familinya yang kebetulan ramai berdatangan kerumah Pak Djaelani. Mereka memang begitu adatnya. Kalau ada satu yang sakit maka hampir semua famili dan tetangga didesa yang sebagian besar masyarakatnya bersuku Madura tersebut, berdatangan berkunjung bergiliran.

Kukatakan bahwa luka Pak Djaelani ini harus dibongkar untuk mengambil kayu yang menelusup. Semua orang terdiam memandangiku. Tapi keluarga Pak Djaelani menyetujui rencanaku untuk membongkar luka infeksi dikaki itu.

Tapi, apa lacur.. ketika aku merogoh- rogoh tas perlengkapan alatku, tak kutemukan obat Patirasanya. Wah.., kataku dalam hati. Celaka inih!. Aku memutar otak. Berpikir keras, bagaimana jalan keluarnya.

Sementara itu Pak Djaelani mengerang terus. Agaknya ia merasa takut tambah sakit kalau lukanya nanti ditolong. Diam- diam kuperhatikan lukanya yang meradang bengkak dan memerah itu tidak mungkin untuk diberi obat patirasa lokal.

Tiba- tiba aku punya ide. Bagaimana kalau Pak Djaelani ini di hypnotis saja untuk mengendalikan nyeri lukanya? Sementara aku bisa merawat lukanya dengan tenang!.

..... Bersambung.